PERBEDAAN
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG KESAKSIAN DALAM THALAQ
Perceraian dalam suatu
perkawinan,sebenarnya merupakan jalan terakhir setelah diupayakan
perdamaian.Thalaq memang dibenarkan dalam islam tetapi perbuatan itu sangat
dibenci oleh Allah .
Bila terjadi perceraian dalam rumah
tangga ,maka ada kesan seolah-olah perkawinan suami istri tidak dilandasi suka
saling suka dan saling cinta.Tidak sedikit kita lihat orang-orang melarikan
diri dari orangtuanya ,kemudian tahkim .Mereka ingin sehidup semati meski tanpa restu orangtua. Tetapi anehnya,setelah
perkawinan demikian kemungkinan cerai masih saja terjadi.
Pada uraian terdahulu,mengenai kesaksian
dalam akad nikah amat diperlukan, walaupun ada sedikit ulama yang memandang
tidak perlu.
Adalah wajar , bila pada saat akad nikah
disaksikan ijab qabulnya,namun bagaimana dengan permasalahan saksi dalam
thalaq? Berkenaan dengan masalah ini,maka para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum saksi di dalam thalaq.
Sebelum membicarakan mengenai pendapat
para ulama tentang permasalahan saksi dalam thalaq,terlebih dahulu kita lihat
syarat-syarat yang berlaku bagi orang yang menalaq,sebagai berikut : [1][1]
1.Baligh
Para ulama mazhab sepakat bahwa thalaq
yang dijatuhkan anak kecil dinyatakan tidak sah,kecuali mazhab Hambali
yang menyatakan bahwa thalaq yang dijatuhkan anak kecil yang sudah mengerti
dinyatakan sah.
2. Berakal sehat
Dengan demikian thalaq tidak berlaku
atas orang yang hilang akalnya ( dalam keadaan tidak sadar ). Namun di sini
para ulama berbeda pendapat mengenai thalaq yang diucapkan oleh orang yang
mabuk,yaitu :
a. Imam mazhab yang empat berpendapat
bahwa thalaq yang diucapkan orang mabuk itu sah apabila dia mabuk karena
minuman yang diharamkan dan atas dasar keinginan sendiri,namun jika ia terpaksa
maka thalaqnya dianggap tidak jatuh.
b.sementara para ulama Syi’ah Imamiyah
mengatakan bahwa thalaq tersebut sama sekali tidak sah.
3. Atas kehendak sendiri
Dengan demikian ,thalaq yang dijatuhkan karena
ia dipaksa menurut kesepakatan ulama mazhab hal itu tidak sah,
terkecuali mazhab imam Hanafi yang menyatakan bahwa hal sedemikian rupa dianggap
sah.
4. Betul-betul bermaksud menjatuhkan thalaq
Hal ini menurut pendapat mazhab Syi’ah
Imamiyah thalaq dinyatakan tidak jatuh karena sebab lupa,keliru atau main-main.
Sementara imam Hanafi berpendapat bahwa
thalaq semua orang dinyatakan sah kecuali anak kecil,orang gila,dan
orang yang kurang akalnya.
Sementara mazhab imam Syafi’i dan
Hambali sependapat dengan imam abu hanifah bahwa thalaq dalam perkara ini dinyatakan
sah,tetapi tidak dengan imam hambali , beliau menyatakan dalam kasus
seperti ini thalaq dinyatakan tidak sah.
A.
Pendapat Jumhur Fuqaha
Menurut jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf
(tradisional dan modern) berpendapat, bahwa talak itu sah tanpa ada saksi.
Karena hal itu merupakan hak orang laki-laki (suami). Tidak ada nash yang
menetapkan adanya saksi dalam talak[2][2].
Allah SWT sendiri telah memberikan hak talak berada di tangan laki-laki (suami)
dan bukan wanita (istri), sebagaimana firmannya. Al-Ahzab : 49.
$pk0r'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`Îgøn=tæ ô`ÏB ;o£0Ïã $pktXr0tF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎh| ur %[n#u| WxÏHsd
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (Al-Ahzab: 49)
Selain surat Al-Ahzab tersebut ada pula surat Al-Baqarah
ayat 231 yang menyatakan tidah perlu adanya saksi di dalam thalaq sebagai
berikut:
#sÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ
uä!$|¡ÏiY9$#
z`øón=t6sù £`ßgn=y_r&
Æèdqä3Å¡øBr'sù >$rá÷èoÿÏ3
÷rr&
£`èdqãmÎh|
7$rã÷èoÿÏ3 4
wur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4
`tBur
ö@yèøÿt
y7Ï9ºs ôs)sù zOn=sß ¼çm|¡øÿtR 4
wur (#ÿräÏFs? ÏM»t#uä «!$#
#Yrâèd 4
(#rãä.ø$#ur |MyJ÷èÏR «!$#
öNä3øn=tæ !$tBur tAtRr&
Nä3øn=tæ z`ÏiB É=»tGÅ3ø9$# ÏpyJõ3Åsø9$#ur /ä3ÝàÏèt ¾ÏmÎ/ 4
(#qà)¨?$#ur
©!$# (#þqãKn=ôã$#ur ¨br&
©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ
Apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka
dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf
(pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia
Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan
hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang
Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah
memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah
kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah: 231)
Dengan demikian, talak itu merupakan hak bagi yang
menikahi (suami) dan juga mempunyai hak untuk mempertahankannya, yaitu melalui
proses rujuk. Demikian dikatakan oleh ibnu qayyim.[3][3]
B. Pendapat Imam Mazhab Yang empat
Mazhab yang empat tidak mengisyaratkan akan adanya
saksi didalam talak, adapun keempat mazhab tersebut adalah mazhab Syafi’i,
Maliki, Hambali, dan Hanafi,berdasarkan sebagaimana landasan yang dipergunakan
oleh para ulama jumhur dalam menetapkan hal ini.
Namun demikian menurut Imam Syafi’i dan Hanifah
sebagaimana M. Quraish Shihab mengatakan dalam tafsirnya bahwa persaksian
terhadap talak ini, “Memahaminya dalam
perintah sunnah”. Dan dari riwayat yang lain yang dinisbahkan kepada Imam
Syafi’i, Ahmad, dan Malik bahwa,“Perintah
itu sebagai perintah wajib untuk rujuk dan bukan untuk perceraian”.[4][4]
C. Pendapat Ulama Syi’ah Imamiyah
Para ulama mazhab Syi’ah
Imamiyah Itsna ‘Asyariah dan Ismailiyyah
mengatakan bahwa, talak tidak dianggap jatuh bila tidak disertai dua orang
saksi laki-laki yang adil[5][5].
Hal tersebut berdasarkan surat Al-Quran surat At-Thalaq : 2 ayat yang berbunyi:
#sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r&
£`èdqä3Å¡øBr'sù >$rã÷èyJÎ/
÷rr&
£`èdqè%Í$sù
7$rã÷èyJÎ/ (#rßÍkôr&ur
ôurs 5Aôtã óOä3ZÏiB (#qßJÏ%r&ur noy»yg¤±9$# ¬! 4
öNà6Ï9ºs
àátãqã ¾ÏmÎ/ `tB tb%x. ÚÆÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
`tBur
È,Gt ©!$#
@yèøgs ¼ã&©! %[`tøxC
Apabila mereka Telah
mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah
mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah
diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan
keluar. ( QS.At-Thalak: 2).
Perintah untuk membuat kesaksian ini,dikemukakan
sesudah pembicaraan tentang thalaq dan kebolehan rujuk.Maka yang tepat adalah
bahwa persaksian itu dimaksudkan bagi thalaq.Disebutnya persaksian sebagai
alasan dapat memberi nasihat bagi prang yang beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk memperkuat hal di atas.Dengan demikian untuk jatuhnya thalaq
disyaratkan adanya dua orang saksi yang adil.
Sehingga dengan adanya
dua orang saksi yang adil di dalam talak akan mempersulit untuk melaksanakan
talak itu sendiri sehingga dengan demikian memungkinkan pasangan suami istri
untuk mengurungkan niat mereka untuk melaksanakan proses bercerai. Sebagaimana
yang disebutkan oleh Makinudin di dalam ringkasan disertasi-nya bahwa, “kedatangan para saksi yang adil tidak akan
sunyi dari nasihat yang baik, yang dapat mencegah suami istri melakukan talak
sehingga keduanya mendapat jalan keluar dari terjadinya talak, yang merupakan
suatu perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah.[6][6]
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan tersebut di
atas,maka dapat kita simpulkan bahwa kesaksian dalam thalaq ini merupakan salah
satu studi perbandingan mazhab yang di dalamnya para ulama berbeda pendapat
dalam menetapkan hal ini,kita lihat perbedaan pendapat tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Pendapat jumhur ulama fuqaha
Menurut jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf
(tradisional dan modern) berpendapat, bahwa talak itu sah tanpa ada saksi.
Karena hal itu merupakan hak orang laki-laki (suami). Tidak ada nash yang
menetapkan adanya saksi dalam talak Allah SWT sendiri telah memberikan hak
talak berada di tangan laki-laki (suami) dan bukan wanita (istri), sebagaimana
firmannya dalam surat Al-Ahzab : 49.
b. Pendapat imam mazhab yang empat
Mazhab yang empat tidak mengisyaratkan akan adanya
saksi didalam thalaq, adapun keempat mazhab tersebut adalah mazhab Syafi’i,
Maliki, Hambali, dan Hanafi.
c. Pendapat ulama syi’ah imamiyah
Mazhab Imamiah
berpendapat bahwa harus ada saksi didalam talak, dan saksi merupakan rukun dari
pada talak.Para ulama mazhab Syi’ah
Imamiyah Itsna ‘Asyariah dan Ismailiyyah
mengatakan bahwa, talak tidak dianggap jatuh bila tidak disertai dua orang
saksi laki-laki yang adil.
DAFTAR PUSTAKA
Makinudin, Pandangan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Ikrar Talak di Indonesia
Pasca Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Diajukan untuk Memenuhi Sebagian
Syarat Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Ke-Islam-an Konsentrasi
Pemikiran Islam, Program Pasca Sarjana S3 Institut Agama Islam Negeri Sunan
Ampel, Surabaya: 2011
M.Ali Hasan,perbandingan mazhab fiqh,jakarta :
raja grafindo persada
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati,
2002
Muhammad jawad mughniyah,fiqih lima mazhab,jakarta
: lentera,2007
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Al-Jami’ Fii Fiqhi An-Nisa’, penerjemah:
M. Abdul Goffar E.M, Beirut-Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah
Slamet Abidin,fiqih munakahat 2,Bandung :
Pustaka Setia
[1][1] Muhammad jawad mughniyah,fiqih lima mazhab,jakarta:lentera,2007,hal:441-442,dan
Slamet Abidin,fiqih munakahat,Bandung : Pustaka Setia 55-58
[3][3] Syaikh
Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Al-Jami’ Fii
Fiqhi An-Nisa’, penerjemah: M. Abdul Goffar E.M, (Beirut-Lebanon: Darul
Kutub Al-Ilmiyah), hal. 447.
[6][6] Makinudin,
Pandangan Hukum Islam Terhadap
Pelaksanaan Ikrar Talak di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Doktor dalam Program
Studi Ilmu Ke-Islam-an Konsentrasi Pemikiran Islam, (Program Pasca Sarjana S3
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya: 2011), hal 14-15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar